Sabtu, 26 November 2022

Aariyah

 Ariyah (Peminjaman)

Pengertian ‘ariyah

Pinjaman atau ‘ariyah menurut bahasa ialah pinjaman. Ariyah secara istilah ialah memberikan manfaat sesuatu yang halal kepada orang lain untuk diambil manfaatnya dengan tidak merusakkan zatnya, agar zat barang itu dapat dikembalikan.[1] sedangkan menurut istilah, ‘ariyah ada beberapa pendapat :


Menurut Hanafiyah, ‘ariyah ialah : “memiliki manfaat secara cuma-cuma”

Menurut Malikiyah, ‘ariyah ialah : “memiliki manfaat dalam waktu tertentu dengan tanpa imbalan”

Menurut Syafi’iyah ‘ariyah ialah : “kebolehan mengambil manfaat dari seseorang yang membebaskannya, apa yang mungkin untuk dimanfaatkan, serta tetap zat barangnya supaya dapat dikembalikan kepada pemiliknya”

Menurut Hambaliyah ‘ariyah ialah :[2] “kebolehan memanfaatkan suatu zat barang tanpa imbalan dari peminjan atau yang lainnya”

Ibnu rif’ah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ‘ariyah ialah : “kebolehan mengambil manfaat suatu barang dengan halal serta tetap zatnya supaya dapat dikembalikan”

Menurut al-Mawardi, yang dimaksud dengan ‘ariyah ialah : “memberi manfaat-manfaat”

Secara operasional, Al-jazairi mengemukakan bahwa al-‘ariyah ialah sesuatu yang diberikan kepada orang yang bisa memanfaatkannya hingga waktu tertentu kemudian dikembalikan kepada pemilik.[3]


Menurut analisa kami bahwa ‘ariyah adalah meminjamkan sesuatu benda atau barang kepada orang lain agar bisa memberikan manfaat kepada orang yang meminjam dalam waktu yang telah disepakati barang tersebut akan dikembalikan kepada orang yang meminjamkan.


Dasar Hukum ‘ariyah

Pinjaman (Al-‘ariyah) itu disyariatkan berdasarkan pada dalil-dalil berikut


يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تُحِلُّواْ شَعَٰٓئِرَ ٱللَّهِ وَلَا ٱلشَّهۡرَ ٱلۡحَرَامَ وَلَا ٱلۡهَدۡيَ وَلَا ٱلۡقَلَٰٓئِدَ وَلَآ ءَآمِّينَ ٱلۡبَيۡتَ ٱلۡحَرَامَ يَبۡتَغُونَ فَضۡلٗا مِّن رَّبِّهِمۡ وَرِضۡوَٰنٗاۚ وَإِذَا حَلَلۡتُمۡ فَٱصۡطَادُواْۚ وَلَا يَجۡرِمَنَّكُمۡ شَنَ‍َٔانُ قَوۡمٍ أَن صَدُّوكُمۡ عَنِ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ أَن تَعۡتَدُواْۘ وَتَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡبِرِّ وَٱلتَّقۡوَىٰۖ وَلَا تَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡعُدۡوَٰنِۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ ٢


Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi´ar-syi´ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya” (Qs. Al-Maidah {5}: 2)


Menurut Sayyid Sabiq, tolong menolong (‘ariyah) adalah sunnah.[4] Sedangkan menurut al-Ruyani, sebagaimana dikutip oleh Taqiy al-Din, bahwa ’ariyah hukumnya wajib ketika awal Islam.[5] Adapun landasan hukumnya dari nash al-Qur’an ialah.


۞إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُكُمۡ أَن تُؤَدُّواْ ٱلۡأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهۡلِهَا


Artinya ”Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya” (Qs. An-Nisa’: 58)


Sebagaimana halnya bidang-bidang lain, selain dari al-Qur’an, landasan hukum yang kedua ialah al-Hadis. Dalam landasan ini, ‘ariyah dinyatakan sebagai berikut:


َوَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( أَدِّ اَلْأَمَانَةَ إِلَى مَنْ اِئْتَمَنَكَ, وَلَا تَخُنْ مَنْ خَانَكَ ) رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَاَلتِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ, وَاسْتَنْكَرَهُ أَبُو حَاتِمٍ اَلرَّازِيُّ


Artinya:”Sampaikanlah amanat orang yang memberikan amanat kepadamu dan janganlah kamu khianat sekalipun dia khianat kepadamu” (HR. Abu Dawud)


Dasar dari ijma’ adalah bahwa Fuqoha sepakat disyari’atkannya ‘ariyah. ‘Ariyah disunnahkan berdasarkan ijma’ kaum muslimin.[6]


Dari al-Qur’an dan Hadis diatas kami menyimpulkan bahwa hukum ‘ariyah adalah boleh, asal ‘ariyah tersebut bernilai kebaikan, tidak keburukan.


Rukun dan Syarat ‘Ariyah

Menurut Hanafiyah, rukun ‘ariyah adalah satu, yaitu ijab dan qabul, tidak wajib diucapkan, tetapi cukup dengan menyerahkan pemilik kepada peminjam barang yang dipinjam dan boleh hukum ijab qabul dengan ucapan.[7]


Menurut Syafi’iyah.[8] Rukun ‘ariyah dalah sebagai berikut:


Kalimat menguntangkan (Lafadz), seperti seorang berkata, “saya utangkan benda ini kepadamu” dan yang menerima berkata “saya mengaku menghutang benda ini kepadamu”. Syarat bendanya ialah sama dengan syarat benda-benda dalam jual beli.

Mu’ir yaitu orang yang menguntangkan (berpiutang) dan musta’ir yaitu orang yang menerima utang. Syarat bagi mu’ir adalah pemilikyang berhak menyerahkannya, sedangkan syarat-syarat bagi mu’ir dan musta’ir adalah:

Baligh

Berakal

Orang tersebut tidak dimahjur (dibawah curratelle), maka tidak sah apabila dilakukan oleh orang yang berada dibawah perlindungan, seperti pembiros.

Benda yang diutangkan. Pada rukun ini disyaratkan dua hal, yaitu:

Materi yang dipinjamkan dapat dimanfaatkan.

Pemanfaatan itu dibolehkan.

Menurut mayoritas ulama (Jumhur), rukun ‘ariyah sebagaimana yang dikemukakan Zuhaily terdiri atas pihak-pihak sebagai berikut[9]:


Yang meminjamkan (mu’ir)

Peminjam (musta’ir)

Ucapan serah terima (Ijab qabul)

Ulama fiqih menetapkan bahwa akad ‘ariyah diperbolehkan atas barang-barang biasa yang dimanfaatkan tanpa harus merusak zatnya (barang istimal’i) atau barang yang dugunakan, seperti rumah, pakaian, kendaraan, dan barang lain yang sejenis.


Pembayaran Pinjaman

Setiap orang yang meminjam sesuatu kepada orang lain berarati peminjam berarti peminjam memiliki utang kepada yang berpiutang (mu’ir). Setiap utang wajib dibayar sehingga berdosalah orang yang tidak mau membayar hutang, bahkan melalaikan pembayaran utang juga termasuk aniaya. Perbuatan aniaya merupakan salah satu berbuatan dosa. Rasulullah SAW bersabda.


“orang kaya yang melalaikan kewajiban utang adalah aniaya” (HR. Bukhori dan Muslim).


Melebihkan bayaran dari sejumlah pinjaman diperbolehkan, asal saja kelebihan itu merupakan kemauan dari yang berpiutang semata. Hal ini menjadi nilai kebaikan bagi yang membayar hutang. Rasulullah SAW berdabda: “sesungguhnya diantara orang yang terbaik dari kamu adalah orang yang sebaik-baiknya dalam membayar hutang” (HR. Mutafaqun ‘alih).


Rasulullah SAW pernah berhutang hewan, kemudian beliau membayar hewan itu dengan yang lebih besar dan tua umurnya dari hewan yang beliau pinjam.


Jika penambahan tersebut dikehendaki oleh orang yang berhutang atau telah menjadi perjanjian dalam akad perutangan, maka tambahan itu tidak halal untuk mengambilnya. Rasullah SAW bersabda: “tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat, maka itu adalah salah satu cara dari sekian cara riba” (HR. Baihaqi).


Meminjam pinjaman dan Menyewakannya

Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa peminjam boleh meminjamkan benda-benda pinjaman kepada orang lain, sekalipun pemiliknya belum menginzinkannya jika penggunaan untuk hal-hal yang tidak berlainan dengan tujuan pemakaian pinjaman. Menurut Hambali, peminjam boleh memanfaatkan barang pinjaman atau siapa saja yang menggantikan statusnya selama peminjam berlangsung, kecuali barang tersebut disewakan. Haram hukumnya menurut Hambaliyah menyewakan barang pinjaman tanpa seizin pemilik barang.[10]


Jika peminjam suatu benda meminjamkan benda pinjaman tersebut kepada orang lain, kemudian rusak ditangan kedua, maka pemilik berhak meminta jaminan kepada salah seorang di antara keduanya. Dalam kedaan seperti ini, lebih baik pemilik barang meminta jaminankepada pihak kedua karena dialah yang memegang ketika barang itu rusak.[11]


Tanggung Jawab Peminjam

Jika peminjam telah memegang barang-barang pinjaman, kemudian barang tersebut rusak, ia berkewajiban menjaminnya, baik karena pemakaian yang berlebihan maupun karena yang lainnya. Rasulullah SAW bersabda: “Pemegang berkewajiban menjaga apa yang ia terima, hingga ia mengembalikannya”.


Sementara para pengikut Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa, peminjam tidak berkewajiban menjamin barang pinjamannya, kecuali karena tindakannya yang berlebihan, karena Rasulullah SAW bersabda: “Peminjam yang tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerusakan, orang yang dititipi yang tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerusakan” (HR. Al-Daruquthni).


Tatakrama Berhutang

Sesuai dengan QS. Al-Baqarah: 282, utang-piutang supaya dikuatkan dengan tulisan dari pihak berhutang dan disaksikan dua orang saksi laki-laki atau dengan seorang saksi laki-laki dengan dua orang saksi perempuan.

Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar adanya kebutuhan yang mendesak disertai niat dalam hati akan membayarkannya.

Pihak berhutang hendaknya berniat memberikan pertolongan kepada pihak berhutang. bila yang meminjam tidak mampu mengembalikan, maka yang berpiutang hendaknya memberikannya.

Pihak yang berhutang bila sudah mampu membayar pinjaman hendaknya dipercepat pembayarannya karena lalai dalam pembayaran pinjaman berarti berbuat dzalim.


0 komentar:

Posting Komentar